Rizkia Amalia
5 min readFeb 16, 2021

Tentang Arsitektur, Membantu atau Merusak?

Introduction : Tulisan ini adalah hasil dari buah pikir perenungan panjang, dan mungkin sampai saat ini. Akan berkali-kali disunting setiap menemukan gagasan baru.

Suatu waktu, aku melihat pemandangan kota Bandung dari atas minaret Masjid Alun-Alun Bandung. Dari atas, terlihat banyak bangunan, ada yang berjejer, ada yang menyebar. Ada yang satu lantai, hingga puluhan lantai berdiri sendiri. Ada bangunan lama, umurnya satu abad. Ada yang baru, fasadnya menampilkan kecanggihan teknologi.

Keberadaan bangunan adalah representasi kehidupan. Atau tidak? jangan-jangan terabaikan karena keserakahan. Bangunan memenuhi bumi, menjejak dan menyerap energinya. Manusia bertambah jumlahnya. Setiap darinya berupaya mengisi ruang, bermain uang dan mengisi kepuasan lahiriah. Tak lepas juga dari pola hidup yang terbentuk dari ruang dan lingkungan tempat ia berpijak. Namun, pernahkah sadar kita hidup di mana?

Kita berdiri di tanah purba, umurnya 4543 milyar tahun. Sudah selama itu bumi menyaksikan dinamika kehidupan diatasnya dan menyeimbangkan ekosistem makhluk-makhluk yang tinggal di dalamnya. Pertanyaannya, apakah kehadiran manusia membalas budi, membantu menjaga keseimbangan ekosistem di bumi, atau justru, merusaknya? Apa yang kita lakukan?

Setelah melewati berbagai pelajaran dan pengalaman di bidang arsitektur yang hadir padaku, kritik yang paling banyak ditemukan seringkali mengenai isu lingkungan. Tentu saja, karena mereka berdiri dalam sebuah lingkungan. Tiap butiran debunya, tentu saja berpengaruh. Apa pengaruhnya?

Sebelum terlalu jauh, coba kita balik lagi ke makna dari arsitektur sendiri. Definisi kamus membatasi arsitektur adalah sebagai ilmu dan seni dalam merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dsb. Jika menggali “ilmu” dan “seni”, tentu saja akan seluas rentang dimensi ruang, waktu, dan jiwa-jiwa yang ditinggalinya.

Pada dasarnya, dan mungkin yang orang-orang ketahui, arsitektur umumnya berperan dalam mengolah ruang untuk memenuhi kebutuhan manusia (sejak manusia yang membuat “arsitektur”nya). Karena kita manusia, kita lihat dari sudut pandang manusia. Arsitektur seperti bentuk pertahanan hidup manusia (survival) dari berbagai dimensi. Lebih umum lagi, dapat diambil dari kesimpulan kebutuhan ketiga manusia yaitu papan atau tempat tinggal. Kebutuhan papan dapat diturunkan dari kebutuhan “ privasi” bagi setiap manusia. Perilaku ini sudah ada sejak jaman purba, dan berkembang karena kemajuan teknologi. Manusia tak lepas dari kebutuhan ruang.

Kemudian pemikiran itu mengantarkanku pada pemikiran yang lebih dalam tentang bagaimana budaya terbentuk dari ruang-ruang yang manusia-manusia itu ciptakan sendiri. Budaya? ya. Dalam lingkup yang lebih kecil, dapat kita sebut sebagai habit atau kebiasaan.

Kalau mau lihat contoh, itulah yang dapat membedakan manusia untuk memandang sesuatu : kecocokan, sreg ga sreg, penting ga penting, percaya ga percaya. Variasi manusia itu mengantar kita pada variasi cara setiap manusia memenuhi kebutuhan.

Sederhananya, coba jalan-jalan keluar rumah sejenak untuk mengitari perumahan di komplek. Kalau kamu tinggal di perumahan, biasanya bentuk rumahnya tipikal. Tapi, aku yakin banget, setipikal-tipikalnya perumahan di komplek, pasti ada bedanya. Ada yang pakai warna natural, ada yang dicat lagi dengan warna kesukaan pemilik. Ada yang gersang, ada yang penuh tanaman. Ada yang tak berpagar, ada yang pagarnya sampai dua meter. Ada yang gelap, ada yang terang. Atau, selain komplek perumahan, kita bisa melihat toko-toko di pinggir jalan. Produk yang berbeda-beda dihasilkan dari kultur yang berbeda. Kita tak bisa memutuskan siapa yang benar, arsitektur mana yang benar. Subjektif. Jika suatu hari punya uang yang cukup dan mampu bertualang ke tempat-tempat yang memiliki kebudayaan jauh dengan kita, maka kita akan memperhatikan bangunannya pun akan berbeda. Rasanya seperti, membicarakan orang-orang atau kerabat yang bersinggungan dalam hidup kita ya. Begitu beragam dan tak ada yang sama.

Di sisi lain dari berbagai perbedaan yang terbayang di atas, ada juga yang berusaha menjadi sama atau mirip, disatukan dalam satu wadah yang sama, menjadi satu bentuk komunitas untuk saling mendukung, menyampaikan gagasan dan berkembang. Gagasan sebuah komunitas dapat disampaikan lewat arsitektur seperti bentuk rumah adat dengan bahan dari alam, hingga dalam bentuk bangunan pencakar langit berteknologi tinggi. Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan yang dibawa suatu komunitas / kelompok, akan mempengaruhi bagaimana ia mengolah ruangnya.

Bangunan seakan representasi diri dan sekelompok orang dengan motif yang sama.

Perbedaan kebutuhan sangat terlihat jika kita membandingkan rumah tinggal dengan bangunan publik (ditinjau dari ruang privat — publik). Rumah tinggal umumnya adalah tempat utama manusia menjalankan aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan terdekatnya seperti makan, tidur serta aktivitas privat keluarga lainnya.

Jika ingin menggali lagi darimana asal manusia merasa membutuhkan sesuatu, kebutuhan manusia yang butuh ruang privat sekaligus publik juga bisa dibilang primitif. Sejak jaman purba, manusia bertahan hidup dan terus berpikir cara untuk melindungi diri (survival). Manusia membangun goa, karena saat itu, manusia masih terbatas teknologinya-dengan batu. Batu di masa itu sepertinya sudah paling canggih. Kalo sekarang, manusia sudah jauh lebih paham untuk membangun “rumah”, diiringi dengan semakin berkembangnya ekspektasi dan permasalahan kehidupan modern. Meski begitu, kita tidak bisa memungkiri bahwa kegiatan membatasi kebutuhan pribadi dan publik adalah sifat primordial manusia. Begitu juga dengan kebutuhan sosial. Sesama manusia yang sejenis sejatinya secara natural akan berkomunikasi untuk menyelesaikan satu-persatu permasalahan individu.

Perbedaan itu menjadi representasi untuk melihat bahwa pemuas kebutuhan mereka berbeda-beda. Jika dihubungkan dengan arsitektur, maka pencapaian atas kepuasan yang didapat dalam ruang menjadi relatif tiap orangnya. Meskipun relatif, tapi tahukah kalian, apa yang sama dari mereka semua? Kesamaannya adalah, mereka sama-sama manusia. Sama-sama merasa puas jika kebutuhannya terpenuhi.

“Although the word “beautiful” is fundamentally subjective, the feeling associated with it is universal.”

(Ricci, Natalie, “The Psychological Impact of Architectural Design” (2018). CMC Senior Theses. 1767)

Aku pernah baca buku Donald H Ruggles : Beauty, Neuroscience and Architecture, kurang lebih menjelaskan bahwa ada satu ikatan yang sama dalam otak setia manusia, yaitu sebuah efek kenyamanan yang sama ketika manusia terpenuhi kebutuhannya dan rasa penasarannya.

“At the most fundamental level, humankind is genetically predisposed to seek two things: survival and pleasure.”

Tadi kita udah bahas sedikit tentang hubungan yang erat antara manusia dengan privasi. Survival adalah reaksi adrenalin terhadap pilihan untuk bertahan hidup yang terbentuk dari sistem saraf simpatik, sedangkan sistem syaraf simpatetik bekerja dalam reaksi pleasure stress relieving dan pelepasan endorfin. Sistem yang bekerja jutaan tahun dalam spesies manusia ini menjadikan setiap reaksi yang turun temurun ada pada setiap manusia. Untuk lebih lengkapnya, bisa baca buku dan artikel seputar neuroscience.

Menurutku, mempelajari konsep manusia menjadi sangat menarik untuk meningkatkan empati kita, mengingat pengguna dan yang membuat ruang adalah manusia. Konsep ruang yang dibentuk dari lingkup kecil individu dapat mempengaruhi generasi setelahnya, juga lingkungannya.Tulisan ini dibuat mengerucut, mulai dari pertanyaan arsitektur dan dampak lingkungan, hingga ke unit terkecil sistem yang terjadi pada diri manusia sebagai pembuat keputusan. Pada akhirnya, aku ingin kita paham kalau setiap individu akan mempengaruhi generasi setelahnya, bahkan seorang yang gila dan sebatang kara di jalan bisa menginspirasi anak kecil yang tambah takut dan seorang pujangga yang terbawa perasaan. Seorang arsitek, salah seorang peran di bumi, semestinya paham akan bentuk yang dibuatnya, keputusan yang ditentukannya, mendukung sebuah budaya baru yang terus berevolusi- semakin membantu atau semakin merusak.

Bandung, 2018-2021